Jon!! Begitu teman-teman saya menyapa saya. Padahal nama saya tidak ada sangkut pautnya dengan kata Jon. Ya, nama saya Satrio Wibowo. Sebuah nama yang diberikan kedua orang tua saya saat tangisan pertama saya berseru. Entah apa yang kedua orang tua saya inginkan dari nama itu, yang jelas kalau diartikan secara harfiah nama itu berarti Ksatria yang Berwibawa. Mungkin harapan orang tua saya agar saya dapat menjadi pribadi yang bejiwa besar dan rendah hati. Mungkinkah itu bisa saya wujudkan? Mungkin. Tapi cerita ini bukan tentang nama saya yang selalu membebani saya secara mental. Tapi saya ingin bercerita tentang perjalanan saya untuk mendapat nilai kehidupan yang memang saat itu belum saya dapatkan.
Saat itu saya baru berusia 17 tahun. Sebuah usia yang selalu dianggap sebagai usia peralihan. Peralihan? Ya, peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa remaja yang penuh dengan rintangan dan membuat para orang tua mengelus dada. Saya pun juga merasakannya.
Saat itu hari sabtu, hari yang paling ditunggu para pelajar seperti saya. Hari sabtu merupakan hari terpanjang bagi hidup saya, bahkan semua orang juga sependapat dengan saya. Tapi sabtu saat itu menjadi hari sabtu yang terpanjang dan menjadi hari sabtu yang penuh makna bagi saya. Kenapa? Ada apa dihari sabtu itu? Awal hari masih biasa saja. Tapi cerita dimulai saat bunyi bel tanda pulang sekolah berdering dengan merdunya.
Saat pulang sekolah itu saya, Anton, Yuda dan Dio sepakat untuk pergi ke sebuah pantai untuk menghabiskan waktu dihari sabtu itu. Tanpa komando, kami berempat langsung keluar kelas menuju tempat parkir dengan girangnya. Padahal guru kami masih berada di tempat duduknya. Ya namanya juga siswa teladan, berangkat injury time, pulang paling awal. (Hehehe). Saat itu jam menunjukkan pukul 12.35. Saya bertanya kepada tiga teman saya, " Hey, jadi gak nih kita ke Tanjung Papuma? Udah ngebet banget nih gua." Dan Dio menjawab," Jadilah, kan kita udah sepakat kemarin. Yaudah, ayolah berangkat !!" Kami berempat langsung menuju mobil Yuda yang terparkir di sudut sekolah. Saat itu, kami menuju rumah kontrakan kami yang letaknya hanya sekitar 250 meter dari sekolah. Betapa sombongnya kami ke sekolah naik mobil. Ya itulah kami.
Saat di kontrakan itu, kami langsung mempersiapkan bekal untuk pergi ke pantai. Kalau orang lain mungkin menyiapkan baju, makanan dan berbagai perbekalan yang biasa dibawa saat ke pantai, kami tidak. Kami malah menyiapkan beberapa botol bir, beberapa bungkus rokok dan tidak lupa koreknya. (Hehehe). Betapa nikmatnya bekal kami. Tapi ya nikmatnya hanya menurut kami.
Setelah semua bekal sudah masuk dalam mobil, kami pun bersiap untuk berangkat menuju Pantai Tanjung Papuma. Setelah semua siap, kami pun langsung menuju tujuan kami dengan penuh semangat “45”. Bahkan jauh melebihi dari semangat kami untuk berangkat ke sekolah. Pukul 14.30, kami berempat teriak bersama sama " Papumaaa, We Are Comiiiiiing..!!!" langsung saja mobil Yuda meluncur keluar garasi kontrakan kami. Tanpa berdoa dan dengan bekal yang tidak baik, kami memulai perjalanan. Namanya juga anak muda.
Saat ditengah perjalanan, kami berempat tidak sadar bahwa diantara kami semua tidak ada yang hafal jalan menuju ke pantai. Tapi namanya juga semangat “45”, semua hal yang tidak perlu ada di pikiran kami menghilang dari otak kami berempat. Tapi semua bingung saat Yuda yang menjadi sopir bertanya arah saat di lampu merah. "Belok ke mana nih? Gua lupa jalan.." Saya yang duduk di samping Yuda langsung menoleh ke kursi belakang di mana Anton dan Dio duduk. "Gua kan belum pernah ke sana, jadi mana gua tau." jawab Dio yang diiringi dengan anggukan kepala Anton. "Laah, terus gimana nih??" tanya saya ke semua orang yang ada di mobil saat itu. "Seingat gua, ini belok ke kanan deh." Sahut Yuda. Saat lampu hijau, mobil pun diarahkan ke arah kanan. Saat itulah nasib kami bertiga ada ditangan Yuda. "Semoga ini benar." harapan saya dalam hati yang mulai sedikit was-was karena hari semakin gelap. Tiga puluh menit kemudian, kami memasuki daerah yang cukup ekstrim. Kenapa ekstrim? Pertanyaan yang bagus. Daerah itu dikelilingi sawah, hutan dan gunung kapur yang tidak ditandai dengan adanya kehidupan. Saat berselang, mobil Yuda pun berguncang dan hampir kehilangan kendali karena Yuda terkejut dengan guncangan itu. Dan kami pun sadar bahwa jalan yang kami lalui sudah tidak beraspal melainkan berbatu kapur.
Kecemasan kami pun mulai tumbuh mengalahkan semangat kami saat akan berangkat. Tanpa pikir panjang kami memutuskan untuk memutar dan kembali ke jalan awal. Tapi apa yang terjadi? Kami tidak menemukan jalan untuk kembali. Kami tetap berada di daerah ekstrim itu. Sumpah saya langsung berpikir untuk segera pulang dengan selamat dan melupakan pantai yang sebelumnya memenuhi pikiran saya. Semua orang yang ada di dalam mobil kelihatan tegang dan bertanya "Ini di mana??" Tak satupun dari kami yang bisa menjawab karena daerah ini sangat asing bagi kami. Kami menghabiskan waktu dan bensin hanya untuk berputar mencari jalan. Tidak terasa saat itu jam menunjuk pukul 20.30. Makin gelap dan makin sunyi saja daerah itu. " Bensin kita mau habis." Cetus Yuda. Sontak kami bertiga langsung lemas diiringi hembusan nafas panjang. Saat itulah kami ingat Tuhan dan memanjatkan doa. Apa doa kami didengar? Hanya Tuhan yang tahu.
Beberapa saat kemudian, entah doa kami terkabul atau memang kebetulan, kami menemukan sebuah bangunan menyerupai kastil kerajaan eropa yang tidak terlalu besar. Kami pun memutuskan untuk pergi ke sana untuk istirahat sejenak dan bertanya jalan pulang kepada orang yang ada di kastil itu kalau memang ada orangnya.
Kami pun tiba di gerbang kastil dan membunyikan gembok gerbang untuk memanggil orang yang ada di dalam. Tidak lama setelah itu, muncul seorang bapak-bapak dengan badan kurus yang dilengkapi peci dan sarung yang disilangkan di badannya. "Selamat malam pak, apa kami bisa minta bantuan?" tanya saya kepada orang itu. " Iya bisa. Ada apa mas?" orang itu balik tanya dengan sedikit logat jawa. " Gini pak, kami berempat gak tau jalan pulang. Kami juga gak tau ini daerah apa. Untung kami menemukan kastil ini dan untungnya ada bapak." jawab saya. "Oh, tersesat ya? Ya sudah, silahkan masuk dulu. Ini sudah malam, besok pagi saja mas pulangnya. Besok saya antar ke jalan pulang." kata orang itu sambil membuka gerbang yang terkunci. Tanpa pikir panjang kami berempat masuk ke dalam kastil itu.
Saat memasuki kastil tersebut, betapa terkejutnya saya melihat isi kastil yang penuh dengan barang-barang mewah dan antik. Sungguh saya tidak habis pikir ada bangunan di daerah ekstrim seperti itu yang isinya mengalahkan isi rumah orang tua saya. " Silahkan duduk mas. " suruh orang itu yang membuyarkan lamunan saya. "Oh, iya pak terima kasih." jawab Dio. " Jon, rumahnya gilaa. Bagus banget." kata Anton kepada saya. Saya hanya menganggukan kepala saya. Kemudian orang itu muncul dengan membawa teh hangat untuk kami. "Ini silahkan di minum. Oh iya, kenalkan saya Pak Nanang. Saya pemilik rumah ini." kata orang itu. Sontak saya dan yang lain terkejut bahwa orang ini lah yang punya kastil ini. Sungguh tidak sesuai dengan yang saya pikirkan. Saya kira dia hanya penjaga rumah saja karena penampilannya yang seperti penjaga vila. " Oh, saya Satrio pak. Ini teman-teman saya Anton, Yuda dan Dio." jawab saya.
Setelah kami berkenalan dan berbincang tanpa batas dengan Pak Nanang, tiba-tiba Anton bertanya kepada Pak Nanang, " Pak, ini rumah benar2 punya bapak?" tak pelak Pak Nanang sedikit merapatkan kedua alisnya. Entah apa nama ekspresi itu, yang jelas Pak Nanang nampak tidak begitu suka dengan pertanyaan itu. Pertanyaan Anton sungguh mengubah suasana santai kami. Tapi Pak Nanang lantas tertawa lepas layaknya sang perompak yang mendapatkan jarahannya. " Ya jelas lah ini rumah bapak. Kalian tidak percaya?" jawab Pak Nanang. Kemudian Pak Nanang mulai “menyruput” teh hangatnya.
"Ini rumah hasil kerja keras bapak saat bapak masih seumuran kalian. Bapak berasal dari keluarga yang sangat miskin dan jauh dari kata cukup. Kalian enak bisa meminta apa saja ke orang tua kalian. Tapi bapak beda. Bapak harus kerja membanting tulang untuk mendapatkan apa yang bapak inginkan." terang Pak Nanang.
"Sepertinya ini bakal menjadi cerita yang panjang." kata saya dalam hati. Kemudian Pak Nanang melanjutkan ceritanya. "Seperti halnya manusia biasa, bapak dulunya sangat ingin menjadi orang kaya. Bisa membeli apa yang bapak inginkan dengan mudahnya. Keinginan itulah yang membuat bapak menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang. Bapak adalah pembunuh bayaran yang dengan sadisnya membunuh target bapak. Dengan cara itu bapak mendapatkan uang yang sangat banyak dari orang yang menyuruh bapak." Kemudian saya memberanikan diri untuk bertanya, " Bapak nggak takut dosa? Apa bapak gak kasihan sama orang yang bapak bunuh?" Kemudian Pak Nanang tersenyum dan menjawab, " Pastilah bapak merasakan itu semua. Tapi ya mau gimana lagi. Bapak butuh uang. Bapak ingin kaya. Setelah 15 tahun menjadi pembunuh bayaran, bapak mempunyai uang yang sebetulnya lebih dari yang bapak inginkan. Tapi bapak malah tidak mendapatkan kebahagiaan hidup sedikitpun. Bapak tidak mempunyai tujuan hidup yang jelas. Bapak dibutakan dengan uang." "Terus apa yang bapak lakukan?" tanya Yuda. " Saat itu bapak ingin berhenti untuk membunuh orang dan memulai kehidupan yang normal seperti orang pada umumnya. Tapi bapak bingung harus bagaimana. Akhirnya bapak pindah ke tempat ini dimana tidak ada orang yang tau. Bapak mencoba mendapatkan kedamaian hidup. Apapun bapak coba. Entah apa itu hidayah dari Allah atau entah itu apa, suatu malam bapak bermimpi bertemu seorang kakek-kakek yang memberi tahu bahwa Allah sangat merindukan doa dari bapak. Bapak langsung terbangun dan kemudian menangis. Sejak saat itulah bapak mulai memperdalam agama bapak dan akhirnya menemukan kedamaian hati bapak." jawab Pak Nanang dengan mata yang sedikit berkaca kaca. Setelah mendengarkan cerita itu, hati dan pikiran saya terpusat pada pertanyaan "Apakah Allah juga merindukan doa dari saya?" Sumpah, saya langsung terpikir hal itu serta kedua orang tua saya yang selalu saya lawan. Mungkin Yuda, Anton dan Dio juga memikirkan hal itu. " Wah, sudah tengah malam. Kalian silahkan istirahat dulu. Besok kalian kan perjalanan pulang. Ayo bapak antar ke kamar." kata Pak Nanang. " Oh iya pak. Saya juga capek sekali. Hehehe.." cetus Yuda.
Kami pun diantar ke kamar untuk istirahat oleh Pak Nanang. "Ini kamar kalian. Silahkan istirahat. Anggap saja rumah sendiri." kata Pak Nanang. Kami berempat langsung saja menuju kasur yang nampaknya sangat nyaman untuk ditiduri. Dan entah apa yang terjadi kami berempat sama-sama tidak mengeluarkan suara. Ya, itu tandanya kami semua sudah tertidur pulas. Selamat tidur semua.
Saat pagi menjelang, saya terkejut ketika Anton membangungkan saya dengan nada kebingungan, "Jon, bangun Jon. Kita kok ada di sini?" Saya pun ikut terkejut saat bangun. " Hah, kok kita ada di dalam mobil? Rumahnya kok gak ada? Terus Pak Nanang kemana?" teriak saya dengan penuh tanda tanya. Lantas saya membangunkan Yuda dan Dio dibantu dengan Anton. Ya, rumah yang kami tempati semalam, Pak Nanang yang berbincang-bincang dengan kami, semuanya berubah menjadi hutan dan sawah. Saya pun langsung menggantikan Yuda untuk menyetir mobil yang masih belum genap nyawanya dan langsung pergi dari tempat itu. Kami berempat dibuat bingung dan diselimuti tanda tanya mengenai kejadian semalam. Jalan pulang yang sangat susah untuk kami temui semalam, pagi itu sangat mudah untuk kami temui. Hanya jalan lurus beberapa kilometer, kami sudah menemukan jalanan yang ramai. Saya langsung saja menuju kontrakan untuk pulang.
Di tengah perjalanan pulang, kami berhenti sejenak di SPBU untuk mengisi bensin dan menenangkan diri. Entah kenapa, semua orang yang ada di mobil saat itu menjadi pendiam. Tidak ada canda tawa, tidak ada obrolan mengenai kejadian yang sudah terjadi semalam dan bahkan tidak ada yang menghidupkan rokoknya saat perjalanan. Kemudian saya memarkir mobil di dekat toilet SPBU dan memulai untuk membahas kejadian semalam. "Jadi, apa yang kita udah alami semalam?" tanya saya ke semua orang di dalam mobil. "Gua juga gak tau Jon. Gua gak habis pikir kita bisa dapet kejadian seperti semalam." jawab Anton dengan lesu. "Mungkin itu pengingat buat kita yang dikirim Tuhan Jon. Selama ini kita hanya bersenang senang tanpa mengingat Tuhan sedikitpun." kata Dio sambil menatap keluar jendela mobil. Apa ini benar2 pengingat dari Tuhan? Saya kemudian ingat cerita Pak Nanang tentang mimpinya. "Ya sudahlah, kita lanjutkan perjalanan kita Jon. Gua pengen cepet balik" terang Yuda. Saya pun kembali menyalakan mesin mobil dan melanjutkan perjalanan untuk pulang.
Di saat perjalanan pulang, saya memberhentikan mobil di tepi sungai. "Kenapa kita berhenti Jon?" tanya Dio. " Gua pengen berubah. Gua pengen dapet kedamaian hidup seperti yang Pak Nanang ceritakan semalam. Gua pengen hidup gua punya tujuan yang jelas. Gak cuma berfoya-foya." jawab saya. Kemudian saya membuka bagasi mobil dan mengeluarkan botol-botol bir yang kami bawa. Anton, Dio dan Yuda kemudian keluar mobil dan menuju ke bagasi. " Ngapain lu keluarin semua Jon?" tanya Yuda. " Minuman ini yang bikin gua lupa sama Tuhan. Gua gak mau lagi kenal sama minuman ini." jawab saya. Langsung saja saya membuang botol-botol itu ke sungai. " Kamu benar Jon." kata Dio. "Ayo kita berubah. Kejadian semalam itu peringatan buat kita." kata saya ke teman-teman saya. Langsung saja saya kembali ke mobil dan diikuti oleh teman-teman saya. Kami melanjutkan perjalanan pulang dengan penuh tekad untuk berubah.
Sesampainya di kontrakan, kami langsung menuju kamar kami masing-masing. Entah apa yang dilakukan Yuda, Anton dan Dio di kamarnya. Saya merenungi kejadian luar biasa yang kami alami semalam. Apa Pak Nanang itu nyata atau malaikat pembawa hidayah buat kami. Yang jelas, kejadian itu membuat saya mengerti akan arti hidup ini sebenarnya. Hidup kita hanya sekali dan apa yang kita sudah lakukan tidak akan terulang kembali. Manfaatkan sisa hidup kita untuk kebaikan diri sendiri dan orang lain. Sesungguhnya Tuhan kita selalu memberikan hidayah-Nya bagi setiap umat manusia. Apapun kesalahan yang sudah kita lakukan, Tuhan pasti memberikan ampunan-Nya dan jalan untuk kembali ke jalan yang benar. Saya merasa beruntung mendapatkan peringatan diusia yang masih muda. Sejak saat itu kehidupan saya berubah total. Dari Satrio yang badung, suka berfoya-foya dan membangkang orang tua menjadi Satrio yang suka beribadah, rajin sekolah dan yang penting patuh kepada orang tua. Saya bangga saat ayah saya bilang " Ayah bangga punya anak seperti kamu, Yo. " Sumpah saya merasa damai dan merasa menjadi orang yang berguna. Begitu juga dengan ketiga teman saya Anton, Yuda dan Dio. Sabtu malam itu sungguh merubah pandangan saya mengenai tujuan hidup yang akan saya gapai. Hanya satu sabtu malam untuk seumur hidup yang lebih baik dan bermakna. (ATY)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar