Malam begitu
hitam pekat, suasana begitu sunyi senyap laksana tak ada kehidupan para raja
dunia. Begitu tenangnya suasana malam hari itu. Akupun beranjak dari tempat
tidurku dan berusaha menerobos kegelapan kamar tidurku untuk meraih bungkusan
rokok. Entah mengapa dimalam itu mataku terus terjaga tanpa lelahnya.
Kunyalakan batang beracunku saat itu. Seberkas cahaya sekilas dari korek api
menyilaukan mataku. Kuhisap penuh makna rokok itu. Tak lama, aku mulai jenuh
dengan kotak kamarku. Kuputuskan untuk keluar menuju loteng atas, sejenak memanjakan
mata melihat gemerlap lampu perkotaan yang nampak seperti bintang penghias
angkasa.
Aku duduk di
tembok pembatas di tepian loteng. Kulihat pemandangan yang tak begitu indah.
Lampu perkotaan yang ingin aku pandangi ternyata tenggelam termakan kabut saat
itu. Hanya beberapa titik cahaya lampu pudar yang nampak di mataku. Aku tetap
duduk terdiam tak berkata sembari menghisap rokokku yang tinggal seperempat
batang. Ku tatap langit saat itu. Tak ada apapun. Kosong dan sedikit
membosankan. Dingin malam mulai menusuk tulang-tulang ragaku. Begitu dingin
sampai aku mendekap erat kaki dan tanganku. Entah apa yang sebenarnya aku cari di
malam hari itu. Aku tetap terdiam dan rokokku mulai habis. Kubuang putung itu
di genangan air sisa guyuran hujan sore hari di lantai loteng. Dan akupun mulai
merenung. Aku putar sebuah lagu indah milik The Beatles berjudul I Will dari playlist handphone ku
sebagai pemecah keheningan saat itu. Kuputar berulang kali. Kudengar lirik demi
lirik lagu itu mendalam.
Di tengah
renunganku, terlintas bayangan seseorang di pikiranku. Entah dia siapa. Tak
sedikitpun aku mengenalnya. Hanya halusinasi, kataku dalam hati. Dan bayangan
itu terus melintas. Aku tak sempat untuk melihat wajahnya. Terlalu cepat
melintas bagaikan kedipan mata. Akupun berusaha tak menghiraukannya. Tapi
bayangan itu seakan semakin mendekat dan mendekat. Tak sanggup aku untuk
melawannya. Sampai akhirnya aku menyerah dan bayangan itu mulai berani
mendekatiku. Bayangan itu mulai menatapku. Aku memberanikan diri untuk bertanya
siapakah dia sebenarnya. Sepatah katapun tak terlontarkan dari bibirnya. Akupun
terdiam. Dia kemudian duduk di sampingku. Saat itu aku tahu bahwa dia adalah
wanita. Wanita yang dirikupun tak tau dari mana dia berasal. Wajahnya masih
samar tak nampak. Aku mulai bingung. Kenapa dia berada di sini, berada di
sampingku. Aku biarkan dia berada di sampingku dan aku melanjutkan lamunanku.
Tapi entah mengapa, lamunanku tak fokus. Pikiranku tak terarah. Aku mulai tak
nyaman akan hal itu. Mungkin karena sosok wanita di sampingku ini. Dia merusak
malamku. Aku mulai berbicara dengannya lagi menanyakan siapakah dia. Dan lagi,
tak ada sepatah katapun yang terlontar. Aku mulai membentaknya dan inginku
untuk mengusirnya jauh dari pandangan dan pikiranku. Tapi tak ada gunanya. Dia
tetap berada disitu. Aku lelah. Aku kembali terdiam dan menyalakan rokokku.
Saat itu,
pikiranku kacau. Tak tau apalagi yang bisa kulakukan. Kembali ku tatap langit
malam membosankan itu sembari menghela nafas panjang. Tak lama, wanita itu
mendekapku. Aku terkejut. Perasaanku mulai sedikit tenang. Dekapan itu aneh.
Seakan penuh kasih sayang dalam dekapan itu. Akupun merasa lebih baik.
Pikiranku kembali terarah dan senyumku perlahan demi perlahan kembali ke wajahku.
Aneh memang. Padahal wanita itu tak nyata saat itu. Tapi menapa semua terasa
seakan memang terjadi? Diapun perlahan melepaskan dekapannya dari badanku.
Kemudian dia menatapku dengan senyum penuh bangga dan kemudian menghilang
tersapu angin malam itu. Begitu terkejutnya saat aku tahu bahwa wanita itu
adalah, IBUKU. Saat itu aku benar-benar malu. Mengapa aku tak merasakan kehadiran
ibuku. Anak macam apa aku ini. Saat itupun aku tersadar, bahwa aku tak pernah
sendiri dalam menghadapi hari demi hari. Ada Ibuku yang selalu menemaniku ke
manapun kakiku melangkah. Doanya selalu menyertaiku, kasih sayangnya selalu
tertanan di benakku. Tak sanggup aku menahan air mata saat itu. Inginku meminta
maaf atas segala dosaku padanya meskipun aku tau bahwa ibuku telah memaafkannya
jauh sebelum aku tersadar.
Terima kasih Ibu
atas segala kasih sayangmu kepada anakmu ini. Terima kasih atas doamu yang
selalu engkau lantunkan kepadaku saat engkau bersujud kepadaNya. Maafkan aku
yang tak bisa lagi menjadi malaikat kecilmu. Terima kasih ibu. Suatu anugerah
terindah ketika aku bisa memanggilmu Ibu dan dirimupun dengan bangga memanggilku
dengan gelar Anakku.
Tulisan ini
kupersembahkan teruntuk Hj. Lilik Susilastuti yang selama ini masih bersedia
kupanggil IBU. Love you mom. I know you’ll be here, beside me to support me
whatever I’ve done and however distances between us.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar