Kamis, 06 Desember 2012

The Power of True Love

Malam begitu hitam pekat, suasana begitu sunyi senyap laksana tak ada kehidupan para raja dunia. Begitu tenangnya suasana malam hari itu. Akupun beranjak dari tempat tidurku dan berusaha menerobos kegelapan kamar tidurku untuk meraih bungkusan rokok. Entah mengapa dimalam itu mataku terus terjaga tanpa lelahnya. Kunyalakan batang beracunku saat itu. Seberkas cahaya sekilas dari korek api menyilaukan mataku. Kuhisap penuh makna rokok itu. Tak lama, aku mulai jenuh dengan kotak kamarku. Kuputuskan untuk keluar menuju loteng atas, sejenak memanjakan mata melihat gemerlap lampu perkotaan yang nampak seperti bintang penghias angkasa.
Aku duduk di tembok pembatas di tepian loteng. Kulihat pemandangan yang tak begitu indah. Lampu perkotaan yang ingin aku pandangi ternyata tenggelam termakan kabut saat itu. Hanya beberapa titik cahaya lampu pudar yang nampak di mataku. Aku tetap duduk terdiam tak berkata sembari menghisap rokokku yang tinggal seperempat batang. Ku tatap langit saat itu. Tak ada apapun. Kosong dan sedikit membosankan. Dingin malam mulai menusuk tulang-tulang ragaku. Begitu dingin sampai aku mendekap erat kaki dan tanganku. Entah apa yang sebenarnya aku cari di malam hari itu. Aku tetap terdiam dan rokokku mulai habis. Kubuang putung itu di genangan air sisa guyuran hujan sore hari di lantai loteng. Dan akupun mulai merenung. Aku putar sebuah lagu indah milik The Beatles berjudul I Will dari playlist handphone ku sebagai pemecah keheningan saat itu. Kuputar berulang kali. Kudengar lirik demi lirik lagu itu mendalam.

Di tengah renunganku, terlintas bayangan seseorang di pikiranku. Entah dia siapa. Tak sedikitpun aku mengenalnya. Hanya halusinasi, kataku dalam hati. Dan bayangan itu terus melintas. Aku tak sempat untuk melihat wajahnya. Terlalu cepat melintas bagaikan kedipan mata. Akupun berusaha tak menghiraukannya. Tapi bayangan itu seakan semakin mendekat dan mendekat. Tak sanggup aku untuk melawannya. Sampai akhirnya aku menyerah dan bayangan itu mulai berani mendekatiku. Bayangan itu mulai menatapku. Aku memberanikan diri untuk bertanya siapakah dia sebenarnya. Sepatah katapun tak terlontarkan dari bibirnya. Akupun terdiam. Dia kemudian duduk di sampingku. Saat itu aku tahu bahwa dia adalah wanita. Wanita yang dirikupun tak tau dari mana dia berasal. Wajahnya masih samar tak nampak. Aku mulai bingung. Kenapa dia berada di sini, berada di sampingku. Aku biarkan dia berada di sampingku dan aku melanjutkan lamunanku. Tapi entah mengapa, lamunanku tak fokus. Pikiranku tak terarah. Aku mulai tak nyaman akan hal itu. Mungkin karena sosok wanita di sampingku ini. Dia merusak malamku. Aku mulai berbicara dengannya lagi menanyakan siapakah dia. Dan lagi, tak ada sepatah katapun yang terlontar. Aku mulai membentaknya dan inginku untuk mengusirnya jauh dari pandangan dan pikiranku. Tapi tak ada gunanya. Dia tetap berada disitu. Aku lelah. Aku kembali terdiam dan menyalakan rokokku.
Saat itu, pikiranku kacau. Tak tau apalagi yang bisa kulakukan. Kembali ku tatap langit malam membosankan itu sembari menghela nafas panjang. Tak lama, wanita itu mendekapku. Aku terkejut. Perasaanku mulai sedikit tenang. Dekapan itu aneh. Seakan penuh kasih sayang dalam dekapan itu. Akupun merasa lebih baik. Pikiranku kembali terarah dan senyumku perlahan demi perlahan kembali ke wajahku. Aneh memang. Padahal wanita itu tak nyata saat itu. Tapi menapa semua terasa seakan memang terjadi? Diapun perlahan melepaskan dekapannya dari badanku. Kemudian dia menatapku dengan senyum penuh bangga dan kemudian menghilang tersapu angin malam itu. Begitu terkejutnya saat aku tahu bahwa wanita itu adalah, IBUKU. Saat itu aku benar-benar malu. Mengapa aku tak merasakan kehadiran ibuku. Anak macam apa aku ini. Saat itupun aku tersadar, bahwa aku tak pernah sendiri dalam menghadapi hari demi hari. Ada Ibuku yang selalu menemaniku ke manapun kakiku melangkah. Doanya selalu menyertaiku, kasih sayangnya selalu tertanan di benakku. Tak sanggup aku menahan air mata saat itu. Inginku meminta maaf atas segala dosaku padanya meskipun aku tau bahwa ibuku telah memaafkannya jauh sebelum aku tersadar.

Terima kasih Ibu atas segala kasih sayangmu kepada anakmu ini. Terima kasih atas doamu yang selalu engkau lantunkan kepadaku saat engkau bersujud kepadaNya. Maafkan aku yang tak bisa lagi menjadi malaikat kecilmu. Terima kasih ibu. Suatu anugerah terindah ketika aku bisa memanggilmu Ibu dan dirimupun dengan bangga memanggilku dengan gelar Anakku.

Tulisan ini kupersembahkan teruntuk Hj. Lilik Susilastuti yang selama ini masih bersedia kupanggil IBU. Love you mom. I know you’ll be here, beside me to support me whatever I’ve done and however distances between us.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar