Sabtu, 26 Oktober 2013
menjadi malam minggu penuh pilu bagiku bahkan seluruh keluargaku. Malam yang
seharusnya menjadi malam penuh canda tawa serta kehangatan keluarga berubah
menjadi malam sejuta air mata. Sabtu, 26 Oktober 2013, entah aku harus cerita
dari mana. Saat aku menulis ini pun, air mata tak bisa ku tahan lajunya. Malam
itu, aku terdiam, merenung, mengenang dan menangis. Langit kelam seakan enggan
pergi dari batin dan pikiranku. Laksana hidup di tengah kesedihan. Akupun larut
di dalamnya. Semua kenangan, semua tawa, semua pesan terus menerus bergulir di
pikiranku. Kenapa hal itu mesti terjadi?
Sabtu,26 Oktober 2013
menjadi akhir dari semua kenangan itu. Tak akan ada lagi kenangan yang akan
tercipta di hari-hari mendatang. Sri Puji Astuti, nama indah penuh nuansa Jawa.
Nama yang melekat di kehidupan beliau. Bulek Tutik, aku biasa memanggil beliau
dengan nama itu. Bulek yang paling aku sayangi, bulek yang selalu menanyaiku
kabar, bulek yang selalu aku datangi saat aku pulang, bulek yang selalu
mendukung segala keputusanku, bulek yang selalu ada saat aku butuh kini tak
lagi ada di kehidupan duniawi ini lagi. Tuhan telah memanggilnya. Aku tau aku
tak patut berlarut dalam kesedihan. Semua adalah jalan hidup beliau. Semua
adalah kehendak-Nya. Tapi, kenapa beliau harus pergi saat aku tak ada di
sampingnya? Aku harus bagaimana?
Saat melihat jasad
beliau, aku terdiam. Kucoba tahan laju air mataku. Berhasil. Namun saat ku buka
peti tempat jasad beliau di rebahkan, tak sanggup kubendung laju air mataku.
Aku menjadi histeris, seakan tak percaya bahwa itu adalah beliau. Keceriaan
bersama beliau semasa hidup terus terkenang, menambah keruh suasana batinku.
Tak kuasa aku menahan kesedihan sampai beliau terkubur di dalam tanah.
Saat itu, Eko Dhana
Subandono, anak beliau yang masih 10th belum tau apa yang sedang terjadi. Dia
masih dalam perjalanan dari tempat tanteku di Banyuwangi. Tak sanggup aku
membayangkan bagaimana reaksinya nanti. Saat dia datang, semua keluarga siap
dengan sambutan hangat untuknya. Anak kecil itu dengan polos memelukku saat
baru turun dari mobil. Dia memang dekat denganku. Bahkan dia kuanggap adik
kandungku sendiri karena terlalu sering bersama. Semua keluarga melempar
senyum, mengajak bicara dengan harapan dia tak menanyakan tentang ibunya.
Kemudian malam itu berakhir dengan Dhana yang tak tau kabar ibunya.
Keesokan harinya, di pagi
yang sedikit cerah, semua kesedihan akan kembali terjadi. Saat semua keluarga
sepakat untuk memberi tau dia tentang ibunya. Aku tak sanggup melihatnya. Saat
dia diajak ke pusara ibunya, dia tampak biasa saja sampai dia melihat banyaknya
karangan bunga untuk ibunya. Pecah semua suasana saat itu. Tangisannya,
jeritannya, histerisnya dia kembali membawa kesedihan mendalam. Apa salah anak
ini. Kenapa dia harus kehilangan ibu di saat dia benar-benar masih membutuhkan
kasih sayang ibunya.
Tangisannya memancing air
mata seluruh keluarga, termasuk diriku ini. Tangisannya menjadi jadi saat
melihat nama ibunya di nisan pusara itu. Aku tak tega melihatnya. Akupun
berpaling karena tak sanggup merasakan kesedihan anak kecil ini.
Kepergian ini memang
sangat memukul seluruh keluarga. Tapi kami tak bisa menyangkalnya. Semua telah
terjadi dan yang kami bisa lakukan hanyalah mendoakan beliau. Dan sesuai pesan
terakhir beliau saat di rumah sakit, beliau meminta ayahku untuk merawat Dhana
setelah beliau pergi. Dan kini semua kesedihan haruslah berakhir. Agar beliau
bisa tenang di atas sana. Semoga bulek tenang di sisi Allah SWT. Semoga segala
dosan bulek di ampuni Allah SWT, amal bulek diterima oleh Allah SWT dan
mendapatkan tempat terindah di sana. Amin amin amin. Aku janji, aku akan jadi
kakak terbaik buat Dhana bulek. I love you, we all love you. Bulek yang tenang
ya di sana. :')
Teruntuk Bulek Sri Puji Astuti. 14 April 1963 - 26
Oktober 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar